Permata Fitri Wiguna mengaku waktu kecil membenci olahraga lari. Ia tidak suka kepada guru olahraga karena dianggap memaksakan standar ketahanan fisik kepada semua muridnya. "Sering setiap pelajaran olahraga, pulangnya saya seperti mau pingsan hingga harus dijemput Ayah," kata pemain biola yang biasa disapa Maylaf itu menjawab surat elektronik Tempo, Selasa lalu.
Namun, sejak dua tahun belakangan, perempuan kelahiran Jakarta, 10 Juli 1976, itu belajar lari tiga-lima kali dalam sepekan di treadmill pusat kebugaran. Awalnya, ia mengaku cuma sanggup lari selama tiga menit. Itu pun sudah ngos-ngosan. Lalu setiap hari Maylaf menambahkan durasi 30 detik lebih lama, lalu ditambah satu menit. Hari demi hari, kecepatan dan jarak larinya bertambah secara perlahan dan alami. Hingga akhirnya, ia sanggup lari 30 menit nonstop!
Kini, Maylaf boleh dibilang maniak lari. Ia punya jadwal lomba lari dalam setahun, baik di dalam kota, luar kota, maupun di luar negeri. Jika tak ada aral, akhir bulan ini lomba lari malam hari sejauh 6 kilometer di Singapura akan diikutinya. "Saya butuh yang lebih menantang lagi. Lari di negara orang akan berbeda. Selain itu, track-nya trail dan malam hari, tantangannya pasti lebih tinggi," dia memaparkan.
Di luar lomba, setiap Ahad pagi Maylaf biasa membaur dengan ribuan warga Jakarta berlari di sepanjang ruas Jalan Sudirman-Thamrin. Bersama komunitas Indo-Runners, ia juga biasa berlari di Sentul, Bogor; kampus UI Depok; Kebun Binatang Ragunan; Kebun Raya Bogor; atau Ancol, Jakarta Utara.
Tak cuma Maylaf yang menggandrungi lari. Sederet eksekutif muda juga banyak yang rajin lari di kawasan Senayan setiap Ahad pagi. Mereka juga suka mengikuti lomba lari di berbagai negara. Sebut saja Sandiaga S. Uno, bos perusahaan investasi Recapital Group; Anindya Novyan Bakrie, Presiden Direktur PT Bakrie Telecom Tbk; Dino Nuryadin, Direktur Utama Mandala Airlines; atau Reza Pusponegoro, CEO Media Satu Group.
Anin, misalnya, mengaku pernah mengikuti lomba lari di Singapura, Hong Kong, dan Los Angeles. Pada 3 Oktober tahun lalu, ia terlihat di antara ribuan peserta lomba lari Red Run 10K yang diselenggarakan Yayasan Jantung Indonesia. Padahal waktu itu cuaca Jakarta mendung dan gerimis. Sebelumnya, 24 Januari 2010, ia meresmikan jalan tol Kanci-Pejagan sepanjang 38 kilometer dengan menggelar lomba lari yang diikuti ribuan warga Cirebon.
"Saya suka lari karena ini adalah olahraga yang melatih manajemen tubuh. Ada pengaturan yang baik antara napas dan ritme langkah kaki saat berlari," tulis putra sulung Aburizal Bakrie itu di blognya. Alasan lain, menurut pria kelahiran Jakarta, 10 November 1974, itu, lari adalah olahraga paling egaliter karena bisa diikuti oleh siapa saja tanpa pandang bulu.
Sementara itu, bagi Sandiaga, lari memiliki filosofi yang sangat erat dalam dunia bisnis, yakni speed dan endurance. Untuk speed atau kecepatan, kata dia, pebisnis tidak boleh lambat, risikonya bisa didahului orang lain. Begitu juga untuk endurance atau daya tahan. Bisnis juga memerlukan daya tahan agar dapat sustainable.
Sandiaga mengaku tertarik untuk lari karena terinspirasi salah satu film favoritnya, Forrest Gump, yang dibintangi aktor Tom Hanks pada 1994. "Setiap habis berlari, pikiran saya menjadi lebih fresh, fisik menjadi bugar," ujar lelaki kelahiran Rumbai, Pekanbaru, 28 Juni 1969, itu.
Setiap Sabtu pagi, dia biasa berlari memutari Gelora Bung Karno lalu berlanjut ke kawasan Parkir Timur Senayan. Adapun pada Ahad biasanya berlari menuju Monas dan diteruskan ke Pasar Baru. "Bagi saya lari lebih banyak untuk charity, ketimbang lobi," ujarnya (baca: "Berlari Menggalang Donasi").
***
Meski tergolong jenis olahraga paling simpel, bagi sebagian orang, penampilan saat lari tetap harus fashionable. Tak cukup mengenakan sepatu, kaus, topi, dan kaca mata, tapi juga dilengkapi peralatan canggih seperti Nike+.
Alat ini terdiri atas sensor yang terpasang di dalam sol sepatu, dan terhubung ke penerima di peranti iPod yang dipasangkan di lengan bagian atas. Sensor ini akan menyampaikan semua informasi mengenai waktu, jarak, serta kecepatan langkah ke iPod. Selain itu, ada alat yang memonitor detak jantung (heart rate monitor). Dengan alat ini, akan diketahui juga jumlah kalori yang telah terbakar selama berlari.
"Jadi keliru kalau menganggap lari kurang fashionable dibanding bersepeda," kata Reza. Untuk model baju, celana, topi, kaus, kaus kaki, dan water belt (sabuk untuk botol air minum) yang dikenakan juga biasa ganti tiap musim. "Tapi soal harga tak bisa dibandingkan dengan sepeda," ujar pendiri Indo-Runners itu.
Dari aspek kesehatan dan kebugaran, Reza menegaskan, pelari tak kalah dibanding pengendara sepeda. "Para pelari itu lebih mementingkan personal base daripada alat pendukung yang mahal, seperti sepeda," ujarnya.
***
Semula, bagi sebagian eksekutif muda, lari tak menjadi olahraga utama. Yasha Chatab, misalnya. Konsultan di The Brand Union ini mengaku baru dua tahun terakhir aktif lari di luar ruang. "Biasanya untuk menjaga kebugaran dan stamina, saya ya fitness di gym atau lari di treadmill," ujar suami Maylaffayza ini.
Ia tergoda untuk lari setelah membaca buku karya novelis dan pengusaha pub asal Jepang, Haruki Murakami: What I Talk about When I Talk about Running. Haruki, yang gemar berlari, memaparkan betapa olahraga sederhana sangat berfaedah bagi kekuatan mental dan fisik. Setelah tamat membaca buku itu, mantan presenter di Metro TV ini kian terprovokasi begitu melihat iklan-iklan perlengkapan olahraga lari di YouTube.
"Bagi saya, lari bukan hanya tren, tapi bisa lebih sustainable. Ini benar-benar tentang developing healthy lifestyle, healthy mind," ujar Yasha, yang biasa lari di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin.
Lain lagi dengan Yomi Wardhana. Lebih dari lima tahun lalu, kadar kolesterol di tubuhnya sangat tinggi. Dokter menyarankan agar penyuka olahraga sepatu roda dan taekwondo itu berlari. "Terbukti, lari cara paling efektif menurunkan kolesterol," ujar petinggi sebuah biro periklanan ternama di Jakarta itu.
Manfaat kesehatan juga didapat Reza dengan berlari. Reza mengaku tak pernah lagi dihinggapi penyakit flu. Setahun terakhir, ia tergolong pelari ekstrem. Tak cuma mengikuti lomba maraton hingga ke luar negeri, bersama beberapa anggota komunitas Indo-Runners, tahun lalu ia lari ke puncak Gunung Merapi dan Merbabu. "Itu dalam rangka latihan untuk mengikuti ultra trail marathon sejauh 100 kilometer yang disponsori oleh perusahaan perlengkapan olahraga luar ruang The North Face di Singapura," ujar Reza.
Pelari ekstrem lainnya yang suka lari ke gunung adalah Herry Soffandi alias Aki Niaki dari Bandung. Arsitek berusia 54 tahun ini sanggup lari ke Gunung Gede-Pangrango, Merapi, dan Merbabu dengan waktu tempuh rata-rata cuma 2 jam 20 menit. Sementara itu, Gunung Kinabalu di Malaysia setinggi 4.000 meter dari permukaan laut ditempuh dalam tempo 3 jam 30 menit. Edan!
"Saya suka lari ke gunung karena rutenya tidak membosankan dan lebih hijau pemandangannya," ujarnya.
Aki juga mengaku pernah lari selama 12 jam dengan rute Cibadak (Sukabumi), Pelabuhan Ratu, Ciemas, dan Ujung Genteng. Dua pekan lalu, bersama seorang temannya, Aki berlari sejauh 127 kilometer dengan rute Bandung, Dago, Maribaya, Lembang, Puncak, Gunung Burangrang, dan Gunung Tangkuban Parahu. Hal itu dilakukan sebagai persiapan mengikuti maraton di Great Wall Cina awal Mei nanti. "Biaya pendaftaran Rp 20-an juta, termasuk hotel dan makan," kata Aki.
Semua aktivitas Reza dan anggota komunitasnya biasa dipajang di halaman Facebook Indo-Runners. "Biar orang-orang terinspirasi," ujar Reza. Hingga pekan lalu, anggota Indo-Runners yang tercatat di laman ini sudah lebih dari seribu orang.
Selain Indo-Runners, ada Jakarta Free Spirit, yang anggotanya kebanyakan para ekspatriat. Komunitas yang digagas Barbara Oravetz ini berdiri pada 2001. Setiap Sabtu pagi, anggotanya biasa berlari sejauh 5 kilometer di sekitar Taman Marga Satwa Ragunan, Jakarta Selatan. Khusus Ahad pagi, mereka biasa berlari sejauh 16-25 kilometer, dari depan gerai McDonald's Kemang hingga beberapa ruas jalan di Jakarta.
***
Berlari, terutama di pagi hari, memang sangat baik bagi kesehatan. Namun, jika melakukannya berlebihan, tetap dapat menimbulkan risiko yang justru dapat merugikan tubuh. Tim ilmuwan dari University of East London malah menyimpulkan lari jarak jauh bisa menyebabkan kerusakan tulang. Karena itu, asupan gizi dan air putih bagi pelari jarak jauh benar-benar harus dijaga.
Dokter spesialis kedokteran olahraga Michael Triangto pun mengingatkan, bagi mereka yang telah berusia 35 tahun ke atas, sebaiknya lebih hati-hati dan terukur dalam lari. Layaknya sebuah mobil yang sudah berumur, kata dia, ada sejumlah risiko mengintai mereka yang telah berumur 35 tahun ke atas jika terlalu memaksakan diri dalam berolahraga. Risiko paling ringan bisa terjadi pada persendian dan ikat sendi yang keseleo, otot yang tertarik, bahkan menyebabkan memar. Risiko lainnya adalah terjadinya cedera serta kelelahan fisik. Dalam kondisi fisik yang lelah ini berbagai infeksi virus bisa terjadi, mulai virus flu hingga cikungunya.
Selain itu, berlari dengan jarak yang jauh, bahkan berpuluh kilometer, tanpa ada panitia yang memberi air di tengah jalan, bisa menyebabkan dehidrasi, atau kulit terbakar matahari. Dalam kondisi terus memaksakan diri, biasanya pelari akan mengeluarkan keringat atau kencing yang banyak. Di titik inilah fisik akan drop dan aliran darah akan bekerja lebih keras.
"Mulailah masuk ke area jantung. Jika jantung tidak siap memompa darah lebih banyak untuk mencukupi kerja otot, ia akan berdenyut lebih cepat yang akhirnya fungsi pompa darah jadi tidak efektif," ujar dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Mitra Kemayoran dan Slim and Health, Sport Therapy di Mal Taman Anggrek ini.
Hal lain adalah terjadinya sumbatan pada pembuluh darah yang akan lebih
memberatkan kerja jantung, yang akhirnya dapat mengakibatkan serangan
jantung.
Meski demikian, pelari ekstrem seperti Aki Niaki mengaku sejauh ini belum merasakan hal negatif terkait dengan olahraga yang dijalaninya. Justru manfaat positif yang selama ini telah terbukti dirasakannya. "Ada yang bilang, rutin bersepeda baik sekali untuk kehidupan seks. Nah, lari dua kali lebih baik. Ini serius, lo," ujarnya.
Potensi masalah justru bisa datang dari sesama penggiat kebugaran. Apalagi di kota besar seperti Jakarta, menjalani aktivitas berlari tetap perlu ekstrahati-hati, bahkan di Hari Bebas Kendaraan Bermotor sekalipun. Pasalnya, pengendara sepeda yang sama-sama tengah menjaga kebugaran raga pun bisa menjadi sumber petaka. Maylaf membuktikan itu.
"Pagi ini lari di Sudirman ditabrak sepeda dr belakang, I got luka2 & memar2 on my knee, palm & sikut," tulisnya di Twitter, 6 Maret 2011. Hingga saat ini, menurut Yasha, sang suami, Maylaf masih harus menjalani terapi pemulihan.
Amirullah | Sudrajat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar