Berawal dari coba-coba, usaha budi daya lele sangkuriang yang dirintis Fauzan Hangriawan, telah memberikan kontribusi sangat berarti tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga kepada lingkungan sekitarnya.
Fauzan adalah salah seorang sosok wirausaha muda yang mengembangkan pembudidayaan bibit lele dengan sistem plasma atau kemitraan. Dengan 20 petani binaannya, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atmajaya ini bersama-sama mengembangkan usaha pembudidayaan lele dengan sistem manajemen kelompok, dimulai dari pembenihan, pembesaran hingga penjualan.
Pria yang hobi olahraga ini telah menunjukkan bakat kewirausahaan sejak masih duduk di bangku SMP. Dia mengaku telah melakukan usaha kecil-kecilan meskipun sifat awalnya hanya membantu teman untuk menjualkan barang seperti kerupuk dan nasi. Awalnya dia mengaku iseng belajar budi daya lele karena melihat potensinya di samping menyukai bidang agrobisnis seperti peternakan dan perikanan.
“Nah saya ingin belajar dan di sisi lain saya juga membaca dari media lain bahwa lele itu punya prospek,makanya saya coba,” ujar Fauzan saat ditemui di lokasi usahanya di Jalan Purwa Madya I Blok W25 Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Fauzan lantas memulai membudidayakan lele dumbo terlebih dahulu pada September 2009. Proses pembelajarannya dilakukan secara autodidak melalui buku dan internet. Namun di tengah perjalanannya, dia menemukan banyak kendala di lapangan. “Usaha lele tidak semudah yang kita bayangkan,” ujar pria kelahiran Pontianak, 24 Juli 1986, ini.
Pada awalnya, dia mendapatkan hasil usaha yang tidak maksimal. Mulai dari gagal panen, penjualan yang tidak sepadan dengan biaya produksi, serta tingginya tingkat kematian lele. Hingga pada akhirnya Fauzan membaca sebuah artikel di sebuah harian nasional yang membahas seorang sosok pembudi daya lele sangkuriang bernama Nasrudin.
Dari situlah dia kemudian meneguhkan niat untuk berguru kepada Nasrudin. Setelah mengikuti pelatihan, Fauzan langsung mempraktikkan ilmunya dalam rentang waktu dua minggu. “Di bulan November itu saya diperkenalkan oleh teman saya itu melalui surat kabar waktu itu, sosok Pak Nasrudin. Seminggu kemudian saya niatkan untuk bersilaturahmi dan belajar dengan beliau serta ikut pelatihan dan langsung buka satu kolam,” ujar Fauzan yang menamakan usahanya Sylvafarm itu.
Sembari membuka satu kolam, Fauzan tetap belajar dan berbagi dengan Nasrudin hingga akhirnya memberanikan diri untuk membuka delapan kolam. Seterusnya menjadi 25 kolam hingga akhirnya menjadi 75 kolam. Dari kolam tersebut Fauzan dapat menghasilkan 15.000 ekor bibit lele sangkuriang setiap bulannya. Setelah memahami teknologi serta pemahaman yang mendalam budi daya lele sangkuriang, dia kemudian mencoba mengajak warga dan petani lele yang ada untuk bekerja sama membudidayakan lele sangkuriang.
Dalam model kerja sama ini, Fauzan bertindak sebagai pembenih dan pembesaran lele diserahkan kepada para petani. Untuk mengegolkan usahanya, Fauzan mengeluarkan modal awal Rp4,5 juta.
“Teknologinya kita bantu secara gratis dan kita dampingi proses budi dayanya. Kita jelaskan dari A sampai Z,bahkan hingga pemasaran kita bantu juga. Karena yang pertama mereka tanyakan adalah ke mana mereka menjualnya karena belum paham,” imbuhnya.
Dia mengakui, sistem ini sangat membantu dalam hal efisiensi lahan sekaligus bisa memberikan efek langsung kepada masyarakat di sekitarnya. Selain itu, model plasma juga memberikan lapangan pekerjaan. “Jadi mereka bisa praktik di lahan masing-masing, tapi kuncinya kita berikan pendampingan secara terus-menerus supaya panennya sukses dan hasilnya bisa kita ambil,” tambah anak pertama dari tiga bersaudara ini.
Lalu, dari mana Fauzan mendapatkan lahan untuk usahanya? Menurutnya, lahan yang dipakai merupakan hasil kerja sama dengan pemilik lahan. Dia menerapkan sistem bagi hasil. Pemilik lahan memberikan lahan, sementara untuk infrastruktur, teknologi, pekerja, dan manajemen karyawan dikerjakan langsung oleh Fauzan. Dia mengakui, usaha yang dianggap selingan tadi telah memberikan hasil yang cukup memuaskan, bahkan hal itu dirasakan oleh para petaninya. Oleh karena itu Fauzan berniat fokus mengembangkan usaha ini. Untuk memperkuat usaha dan pemahaman yang sama, Fauzan bersama para petaninya selalu bersilaturahmi melalui perkumpulan serta sharing sebulan sekali untuk membahas masalah yang ada seperti penanganan penyakit atau sekadar berbagi informasi terbaru.
Menurut penuturan Fauzan, proses pembibitan lele yang ditekuninya dimulai dari mengawinkan induk lele hingga proses peneluran. Bibit yang sudah ditelurkan itu dibesarkan hingga ukuran 5–6 cm sebelum akhirnya dijual kepada petani ataupun pembeli. Setiap benih lelenya dijual seharga Rp150 per ekor. Selanjutnya benih lele tersebut dipelihara selama 50 hari hingga dua bulan untuk kemudian dijual ke konsumen. Masa panen lele sangkuriang relatif lebih cepat dibandingkan jenis lele dumbo yang butuh waktu lebih lama, yakni tiga bulan.
“Kalau mereka (petani) belum menemukan pembeli, agar mereka semangat, saya beri jaminan dengan membelinya. Kalau sudah 2–3 kali panen biasanya mereka akan menemukan pembelinya sendiri dan kita bebaskan mau jual ke siapa saja,” katanya.
Jika ada petani yang menjual kepada Fauzan, lelenya dihargai Rp11.000/kg. Dengan demikian, petani bisa memilih apakah mau menjual kepada Fauzan atau pembeli lain yang menawarkan harga lebih tinggi. “Jadi kita tidak boleh menghalangi mereka untuk mencari untung lebih, nggak ada ikatan,” ujarnya.
Saat ini, kapasitas produksi Sylvafarm dari empat area pembibitan adalah 15.000 ekor per bulan. Jumlah tersebut menurut Fauzan masih jauh dari permintaan pasar yang mencapai 300.000 ekor per bulan. Fauzan mengaku, dari penjualan bibit bisa memperoleh omzet hingga Rp22,5 juta per bulannya dengan laba bersih sekitar Rp12 juta. Itu belum termasuk penjualan dari usaha pembesaran lele yang dijual ke konsumen akhir. Adapun dari hasil pembesaran setiap harinya dia bisa menjual hingga 200 kg lele sangkuriang ke pasar.
“Yang paling besar pengeluaran untuk biaya pakan karena pakannya sendiri itu dari pabrik dan itu selalu mengikuti harga pasar dan sering kali naik. Kalau dihitung- hitung dengan biaya karyawan, pakan, dan biaya tak terduga seperti terpal, jaring, ongkos transportasi, bersihnya Rp12 juta per bulan,” ujarnya.
Untuk mengembangkan usahanya, dia pun terus berupaya membuat jaringan khusus petani pembenih dengan cara mendidik petani-petani yang memiliki kemampuan lebih telaten dan detail. Pemenang pertama program Wirausaha Muda Mandiri dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) ini mengungkapkan, sejak memulai usahanya hingga kini, sudah memiliki 20 petani binaan.
Dia juga mempekerjakan empat karyawan yang bertugas menjaga dan memberi pakan bibit lele tersebut. Terkait dengan pemasarannya, selama ini Fauzan banyak menjual ke pasar tradisional, usaha warung padang,warung tegal, dan sudah memberikan pasokan untuk salah satu usaha waralaba pecel lele “Lele Lela”. Dia mengaku belum memutuskan menjadi pemasok utama karena masih memiliki kendala lahan dan produksi.
Fauzan mengaku selain lahan, kendala lain lebih kepada masalah internal seperti sumber daya manusia, penanganan penyakit, serta keadaan cuaca yang saat ini cenderung berubah-ubah.
Fauzan boleh jadi kini tinggal menikmati jerih payah hasil usaha lele sangkuriangnya. Namun, siapa sangka kalau jauh-jauh hari sebelumnya dia pernah mengalami masa-masa kurang menyenangkan karena usahanya bangkrut.
Tidak tanggung-tanggung, bangkrutnya usaha Fauzan tidak hanya satu atau dua kali. Dia bahkan mengaku sudah 12 kali gagal berbisnis dari sejumlah usahanya yang digelutinya. Namun, dasar insting bisnisnya yang selalu jalan,Fauzan sama sekali tidak kapok. Dia terus bangkit dan mencoba usaha baru hingga menemukan hokinya di bidang usaha budi daya lele yang kini digarapnya.
“Baru fokus jualan itu semester dua saat kuliah. Pertama kali saya membuka usaha siomay, lalu Chinesefood, hingga usaha konveksi. Namun, hampir semuanya bangkrut, kecuali yang konveksi meski sekarang sifatnya pasif karena saya hanya mempunyai sahamnya,” kenang Fauzan.
(*/Koran SI)
ciputrapreneurship
Tidak ada komentar:
Posting Komentar